BAB I
PENDAHULUAN
- Latar Belakang
Salah satu
ciri khas filsafat adalah sangat perhatian terhadap bahasa. Dikatakan pula bahwa pada zaman ini bahasa
memainkan peranan yang dapat dibandingkan dengan being (ada) dalam
filsafat klasik dulu. Karena terdapat kemiripan tertentu, yaitu keduanya
bersifat universal. Hanya saja being adalah universal dari sudut
objektif: “ada” meliputi segala sesuatu; apa saja merupakan being.
Sedangkan bahasa adalah universal dari sudut subjektif: bahasa meliputi segala
sesuatu yang dikatakan dan diungkapkan.; makna atau arti hanya timbul dalam
hubungan dengan bahasa. Dan tidak sedikit aliran mengambil bahasa sebagai
pokok pembicaraan yang hampir eksklusif, seperti misalnya hermeneutika,
strukturalisme, semiotika, dan filsafat analitis.[1]
Teori tentang asal-usul bahasa telah lama
menjadi obyek kajian para ahli, sejak dari kalangan psikolog, antropolog,
filsuf maupun teolog, sehingga lahirlah sub-sub ilmu dan filsafat bahasa, di
antaranya yaitu hermeneutika. Sifat ilmu pengetahuan adalah selalu berkembang
dan berkaitan antara satu disiplin ilmu dengan disiplin ilmu yang lain.
Hermeneutika sering dikelompokkan dalam wilayah filsafat bahasa, meskipun ia
bisa juga mengklaim sebagai disiplin ilmu tersendiri.
Para filosof hermeneutika adalah mereka
yang sejatinya tidak membatasi petunjuk pada ambang batas tertentu dari segala
fenomena wujud. Mereka selalu melihat segala sesuatu yang ada di alam ini
sebagai petunjuk atas yang lain. Jika kita mampu membedakan dua kondisi ini
satu dan yang lainnya, maka kita dapat membedakan dua macam fenomena: ilmu dan
pemahaman. Masalah ilmu dikaji dalam lapangan epistemologi, sedangkan masalah
pemahaman dikaji dalam lapangan hermeneutika. Sehingga dengan demikian, baik
epistemologi dan hermeneutika adalah ilmu yang berdampingan.
B.
Rumusan Masalah
- Bagaimana pengertian hermeneutika?
- Bagaimana latar belakang munculnya filsafat hermeneutika?
BAB II
PEMBAHASAN
- Defenisi Hermeneutika
Hermeneutika (Indonesia), hermeneutics
(Inggris), dan hermeneutikos (Greek) secara bahasa punya makna menafsirkan. Hermeneutika
berasal dari bahasa Yunani hermeneutikos berkaitan dengan upaya “menjelaskan
dan menelusuri” pesan dan pengertian dasar dari sebuah ucapan atau tulisan yang
tidak jelas, kabur, dan kontradiksi, sehingga menimbulkan keraguan dan
kebingungan bagi pendengar atau pembaca. Akar kata hermeneutika berasal dari
istilah Yunani dari kata kerja hermēneuein (menafsirkan) atau kata
benda hermēneia (interpretasi). Al-Farabi mengartikannya dengan lafal
Arab al-‘ibāroh (ungkapan).[2]
Kata Yunani hermeios mengacu kepada seorang pendeta bijak Delphic.
Kata hermeios dan kata kerja hermēneuien dan kata benda hermēneia
biasanya dihubung-hubungkan dengan Dewa Hermes, dari situlah kata itu berasal.
Hermes diasosiasikan dengan fungsi transmisi apa yang ada di balik pemahaman
manusia ke dalam bentuk apa yang dapat ditangkap oleh intelegensia manusia. Kurang lebih sama dengan Hermes, seperti itu
pulalah karakter dari metode hermeneutika. Dengan menelusuri akar kata paling
awal dalam Yunani, orisinalitas kata modern dari “hermeneutika” dan
“hermeneutis” mengasumsikan proses “membawa sesuatu untuk dipahami”, terutama
seperti proses ini melibatkan bahasa, karena bahasa merupakan mediasi paling
sempurna dalam proses. Mediasi dan proses membawa pesan “agar dipahami” yang
diasosiasikan dengan Hermes ini terkandung di dalam tiga bentuk makna dasar
dari hermēneuien dan hermēneia dalam penggunaan aslinya.
Tiga bentuk ini menggunakan bentuk kata
kerja dari hermēneuein, yaitu:
1.
Mengungkapkan kata-kata, misalnya “to say”;
2.
Menjelaskan; ’to explain’
3. Menerjemahkan. ’to translate atau to interpret’
Ketiga makna itu bisa diwakilkan dalam
bentuk kata kerja bahasa Inggris, “to interpret.” Tetapi masing-masing ketiga makna itu membentuk
sebuah makna independen dan signifikan bagi interpretasi.
Hermeneutika berarti suatu ilmu yang
mencoba menggambarkan bagaimana sebuah kata atau suatu kejadian pada waktu dan
budaya yang lalu dapat dimengerti dan menjadi bermakna secara eksistensial
dalam situasi sekarang. Dengan kata lain, hermeneutika merupakan teori
pengoperasian pemahaman dalam hubungannya dengan interpretasi terhadap sebuah
Teks.[3]
Persoalan utama hermeneutika terletak pada
pencarian makna teks, apakah makna obyektif atau makna subyektif. Perbedaan
penekanan pencarian makna pada ketiga unsur hermeneutika: penggagas, teks dan
pembaca, menjadi titik beda masing-masing hermeneutika. Titik beda itu dapat
dikelompokkan menjadi tiga kategori hermeneutika: hermeneutika teoritis,
hermeneutika filosofis, dan hermeneutika kritis.
Pertama, hermeneutika teoritis. Bentuk hermeneutika
seperti ini menitikberatkan kajiannya pada problem “pemahaman”, yakni bagaimana
memahami dengan benar. Sedang makna yang menjadi tujuan pencarian dalam
hermeneutika ini adalah makna yang dikehendaki penggagas teks.
Kedua, hermeneutika filosofis. Problem utama
hermeneutika ini bukanlah bagaimana memahami teks dengan benar dan obyektif
sebagaimana hermeneutika teoritis. Problem utamannya adalah bagaimana “tindakan
memahami” itu sendiri.
Ketiga, hermeneutika kritis. Hermeneutika ini bertujuan
untuk mengungkap kepentingan di balik teks. hermeneutika kritis menempatkan
sesuatu yang berada di luar teks sebagai problem hermeneutiknya.[4]
- Latar Belakang Munculnya Filsafat Hermeneutika
Werner G. Jeanrond menyebutkan tiga milieu
penting yang berpengaruh terhadap timbulnya hermeneutika sebagai suatu ilmu
atau teori interpretasi:
Pertama milieu masyarakat yang terpengaruh oleh pemikiran Yunani.
Kedua milieu masyarakat Yahudi dan Kristen yang
menghadapi masalah teks kitab “suci” agama mereka dan berupaya mencari model
yang cocok untuk intepretasi untuk itu.
Ketiga milieu masyarakat Eropa di zaman Pencerahan (Enlightenment)
berusaha lepas dari tradisi dan otoritas keagamaan dan membawa hermeneutika
keluar konteks keagamaan.
Dari mitologi Yunani ke teologi Kristen
Konsep hermeneutika yang digunakan dari
nama Hermes ini resminya digunakan untuk kebutuhan kultural bagi menentukan
makna, peran dan fungsi teks-teks kesusasteraan yang berasal dari masyarakat
Yunani kuno, khususnya epik-epik karya Homer.[5]
Meskipun interpretasi hermeneutis telah
dipraktekkan dalam tradisi Yunani, namun istilah hermeneutike baru
pertama kali ditemui dalam karya Plato (429-347 SM) Politikos, Epinomis,
Definitione dan Timeus. Dalam Definitione Plato dengan
jelas menyatakan hermeneutika artinya “menunjukkan sesuatu” yang tidak
terbatas pada pernyataan, tapi meliputi bahasa secara umum, penterjemahan,
interpretasi, dan juga gaya bahasa dan retorika. Sedangkan dalam Timaeus Plato
menghubungkan hermeneutika dengan pemegang otoritas kebenaran, yaitu bahwa
kebenaran hanya dapat dipahami oleh “nabi”. Nabi disini maksudnya adalah
mediator antara para dewa dengan manusia.
Dalam menghadapi problema terjadinya
krisis otoritas di kalangan penyair dalam memahami mitologi atau sesuatu yang
bersifat divine, misalnya masyarakat Yunani menyelesaikan dengan
konsep rational logos.[6]
Stoicisme (300 SM) kemudian mengembangkan
hermeneutika sebagai ilmu intepretasi alegoris, yaitu metode memahami teks
dengan cara mencari makna yang lebih dalam dari sekedar pengertian literal.
Sejalan dengan itu maka untuk intepretasi alegoris terhadap mitologi, Stoic
menerapkan doktrin inner logos dan outer logos (inner
word and outer word). Metode alegoris kemudian dikembangkan lebih lanjut
oleh Philo of Alexandria (20 SM-50 M), seorang Yahudi yang kemudian dianggap
sebagai Bapak metode alegoris. Metode yang juga disebut typology itu
intinya mengajarkan bahwa pemahaman makna spiritual suatu teks tidak berasal
dari teks atau dari informasi teks, tapi melalui pemahaman simbolik yang
merujuk sesuatu di luar teks. Metode hermeneutika alegoris ini kemudian
ditransmisikan ke dalam pemikiran teologi Kristen. Tokohnya, Origen (sekitar
185-254 M) telah berhasil menulis penjelasan Kitab Perjanjian Lama dengan
metode ini.[7]
Namun, metode alegoris yang berpusat di
Alexandria ini ditentang oleh kelompok yang membela metode literal (grammatical)
yang berpusat di Antioch. Pertentangan antara kelompok Alexandria dan Antioch
mereprentasikan pertentangan metode interpretasi simbolik dan literal. Yang
pertama berada dibawah pengaruh hermeneutika Plato sedangkan yang kedua berada
dibawah bayang-bayang hermeneutika Aristotle.
Dari pertentangan antara dua konsep
hermeneutika Alexandria dan Antioch ini seorang teolog dan filosof Kristen
St.Augustine of Hippo (354-430 M) mengambil jalan tengah. Ia lalu memberi makna
baru kepada hermeneutika dengan memperkenalkan teori semiotik (teori
tentang simbol). Teori ini dimaksudkan untuk dapat mengontrol terjadinya
distorsi bacaan alegoris teks Bible yang cenderung arbitrer, dan juga dari
literalisme yang terlalu simplistik.
Perkembangan pemikiran hermeneutika dalam
teologi Kristen terjadi pada abad pertengahan yang dibawa oleh Thomas Aquinas
(1225-1274). Kemunculannya yang didahului oleh transmisi karya-karya Aristotle
ke dalam milieu pemikiran Islam mengindikasikan kuatnya pengaruh pemikiran
Aristotle dan Aristotelian Muslim khususnya al-Farabi (870-950), Ibn Sina
(980-1037) dan Ibn Rushd (1126-1198). Dalam karyanya Summa Theologia ia
menunjukkan kecenderungan filsafat naturalistic Aristotle yang juga
bertentangan dengan kecenderungan Neo-Platonis St.Augustine. Ia mengatakan
bahwa “pengarang kitab suci adalah Tuhan” dan sesuatu yang perlu dilakukan oleh
para teolog adalah pemahaman literal. Pemahaman literal lebih banyak merujuk
kepada hermeneutika Aristotle dalam Peri Hermenias nya. Tujuannya
adalah untuk menyusun teologi Kristen agar memenuhi standar formulasi ilmiah
dan sekaligus merupakan penolakannya terhadap interpretasi alegoris.[8]
Di awal abad pertengahan, hermeneutika
masih berada dalam sangkar teologi Kristen tapi masih berada dibawah pengaruh
pemikiran filsafat dan mitologi Yunani. Ketika teks Bible sendiri mulai digugat
dan dan otoritas gereja mulai goyah pengaruh pandangan hidup ilmiah dan rasional
Barat (scientific and rational worldview) mulai muncul membawa
hermeneutika kepada makna baru yaitu filosofis.
Dari teologi dogmatis kepada spirit
rasionalisme
Bagaimanapun resistensi para teolog
Kristen terhadap perkembangan sains yang dipengaruhi oleh pandangan hidup
ilmiah Barat, hermeneutika terus menjadi diskursus yang menarik kalangan teolog
Kristen masa itu. Dunia teks akhirnya dianggap sebagai representasi dari dunia
mitos dan masyarakat modern dianggap mewakili dunia ilmiah. Hermeneutika kini
membahas bagaimana kejadian dan kata-kata masa lampau menjadi berarti dan
relevan bagi eksistensi manusia tanpa menghilangkan esensi pesannya.
Tanda-tanda beralihnya diskursus
hermeneutika dari teologi yang dogmatis kepada semangat rasionalisme sudah
mulai nampak sejak terjadinya gerakan Reformasi Protestan pada abad ke-16.
Mulai abad ini hermeneutika mengalami perkembangan dan memeperoleh perhatian
yang lebih akademis dan serius ketika kalangan ilmuwan gereja di Eropa terlibat
diskusi dan debat mengenai otentisitas Bibel dan mereka ingin memperoleh
kejelasan serta pemahaman yang benar mengenai kandungan Bibel yang dalam
berbagai hal dianggap bertentangan.[9]
Tanda ini bertambah jelas pada periode
Pencerahan (Enlightenment) pada abad berikutnya. Memasuki abad ke 18,
hermeneutika mulai dirasakan sabagai teman sekaligus tantangan bagi ilmu
sosial, utamanya sejarah dan sosiologi, karena hermeneutika mulai berbicara dan
menggugat metode dan konsep ilmu sosial. Pada pertengahan abad ini di Eropa
bangkit sebuah apresiasi tentang karya-karya seni klasik, hermeneutika sebagai
metode penafsiran menjadi sangat penting peranannya. Karena sebuah karya seni
merupakan contoh perwujudan paling riil dari sebuah jalinan yang unik antara
sang pencipta, proses pensiptaan dan karya cipta.[10]
Pada tingkat ini pergeseran diskursus
hermeneutika dari teologi ke filsafat masih berkutat pada perubahan fungsi
hermeneutika dari teori interpretasi teks Bibel secara rasional menjadi
pemahaman segala teks selain Bibel. Disini hermeneutika berkembang dalam milieu
yang didominasi oleh para teolog yang telah bersentuhan dengan pemikiran
filsafat Barat.
Dari teologi protestan kepada filsafat
Abad ke 18 dianggap sebagai awal periode
berlakunya proyek modernitas, yaitu pemikiran rasional yang menjanjikan pembebasan
(liberasi) dari irrasionalitas mitologi, agama dan khurafat. Ketika gerakan
desakralisasi atau dalam bahasa Weber ‘disenchantment’ terjadi di
Barat, ilmu diletakkan dalam posisi berlawanan dengan agama yang dianggap
penyebab kemunduran.
Pada abad ke-17 dan 18 pendekatan kritis
terhadap Bibel (Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru) yang merupakan bagian dari
hermeneutika teologis telah berkembang. Studi kritis perjanjian lama telah
menekankan kepada struktur atau bahasa teks sebagai cara untuk memahami isi.
Studi in juga menyandarkan pada bukti internal teks sebagai dasar diskusi
mengenai integritas dan pengarang teks, kemudian mencari situasi sosiologis dan
historis sebagai konteks untuk memahami asal-mula dan penggunaan materi. Studi
kritis Perjanjian Baru melahirkan banyak teks-teks tandingan terhadap textus
receptus edisi Erasmus. Studi tersebut menyatakan bahwa Kalam Tuhan (Word
of God) dan Kitab Suci (Holy Scripture) tidak identik,
bagian-bagian dari Bibel bukanlah inspirasi dan tidak dapat diterima secara
otoritatif. Di dalam milieu pemikiran
inilah makna hermeneutika berubah menjadi metodologi filsafat.
BAB
III
KESIMPULAN
1.
Hermeneutika berasal dari bahasa Yunani Hermeneutikos
berkaitan dengan upaya ’menjelaskan dan menelusuri’ pesan dan pengertian
dasar dari sebuah ucapan atau tulisan yang tidak jelas, kabur, dan kontradiksi,
sehingga menimbulkan keraguan dan kebingungan bagi pendengar atau pembaca.
2.
Mediasi dan proses membawa pesan “agar dipahami” yang diasosikan dengan
Hermes terkandung di dalam tiga bentuk makna dasar. Tiga bentuk ini
menggunakan bentuk kata kerja dari hermēneuein, yaitu: to say, to
explain, dan to translate atau to interpret.
3. Enam definisi tentang
hermeneuitika modern yang juga menandai sejarah perkembangan hermeneutika itu sendiri.
1.
Hermeneutika sebagai teori eksegesis Bibel.
2.
Hermeneutika sebagai metode filologis.
3.
Hermeneutika sebagai ilmu pemahaman linguistik.
4.
Hermeneutika sebagai fundasi metodologi geisteswissenschaften.
5.
Hermeneutika sebagai fenomenologi Dasein dan pemahaman
eksistensial.
6.
Hermeneutika sebagai sistem interpretasi menemukan makna versus
ikonaklasme.
HERMENEUTIKA
MAKALAH
INI DISAMPAIKAN DALAM SEMINAR MATA KULIAH
FILSAFAT ILMU
Di susun oleh :
IMAM BASUNI
NPM : 1202001
Dosen Pengampu
Dr. Mat Jalil, M.Hum
PROGRAM PASCA SARJANA
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
STAIN
JURAI SIWO METRO
TAHUN
2012
KATA PENGANTAR
Segala puji milik Allah SWT
yang telah melimpahkan hidayah-Nya kepada orang-orang yang beriman dan beramal
sholeh.
Sholawat dan salam semoga
tetap terlimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW, yang telah menunjukkan kepada kita
jalan yang paling baik diantara jalan yang ada didunia ini untuk menuju kepada
ridhotillah Tuhan semesta alam.
Dengan ma’unah (pertolongan)
Nya,penulis dapat menyelesaikan makalah ini.
Penulis berharap agar pembaca
dapat memberikan kritik dan saran serta masukan yang membangun guna perbaikan
dikemudian hari.
Semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi para pembaca pada umumnya, dan penulis pada khususnya.
Metro,
17 Oktober 2012
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.........................................................................................
i
KATA PENGANTAR.......................................................................................
ii
DAFTAR ISI..................................................................................................... iii
BAB I
PENDAHULUAN.................................................................................
1
- Latar Belakang ...................................................................................... 1
- Rumusan Masalah.................................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN................................................................................... 3
A. Definisi
Hermeneutika.............................................................................. 3
B. Latar belakang munculnya filsafat
Hermeneutika....................................... 5
....... -. Dari mitologi yunani ke
teologi kristen ............................................... 5
....... -. Dari teologi dogmatis kepada
spirit rasionalisme................................. 8
....... - Dari teologi protestan kepada
filsafat.................................................. 9
BAB III KESIMPULAN................................................................................... 10
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................ 11
DAFTAR PUSTAKA
K. Bertens, Panorama
Filsafat Modern (Cet. I; Jakarta: Penerbit Teraju, 2005)
Hidayat,
Komaruddin. Memahami Bahasa Agama; Sebuah Kajian Hermeneutik. Cet. I;
Jakarta: Paramadina, 1996
Http://peperonity.com/go/sites/mview/assunnah.karya.indo1/15293598/Hermeneutika,
Http://id.wikipedia.org/wiki/Hermeneutika
,
Http://id.wikipedia.org/wiki/Hermeneutika,
loc. cit.
http://wordpress.com/2009/09/22/filsafat-hermeneutika
[1] K. Bertens, Panorama
Filsafat Modern (Cet. I; Jakarta: Penerbit Teraju, 2005), h. 167-168.
[2] Http://peperonity.com/go/sites/mview/assunnah.karya.indo1/15293598/Hermeneutika,
10-09-2012, 14.30
[3]
Http://id.wikipedia.org/wiki/Hermeneutika ,10-09-2012,14.15
[4]
Http://id.wikipedia.org/wiki/Hermeneutika, loc. cit.
[5] Ibid
[6] Logos asal dari bahasa Yunani berarti “kata”. Para
filosof Yunani memakai kata tersebut untuk menunjukkan prinsip rasional yang
mengatur dan mengembangkan alam semesta. Hamid
Fahmy Zarkasyi, op. cit., h. 2.
[7] Ibid
[8] Ibid
[9]
Komaruddin Hidayat, op. cit., 127
[10] Ibid