SELAMAT DATANG DI GUBUG MAYA IMAM BASUNI https://imambasunipps.blogspot.co.id

HERMENEUTIKA



BAB I
PENDAHULUAN
  1. Latar Belakang
Salah satu ciri khas filsafat adalah sangat perhatian terhadap bahasa. Dikatakan pula bahwa pada zaman ini bahasa memainkan peranan yang dapat dibandingkan dengan being (ada) dalam filsafat klasik dulu. Karena terdapat kemiripan tertentu, yaitu keduanya bersifat universal. Hanya saja being adalah universal dari sudut objektif: “ada” meliputi segala sesuatu; apa saja merupakan being. Sedangkan bahasa adalah universal dari sudut subjektif: bahasa meliputi segala sesuatu yang dikatakan dan diungkapkan.; makna atau arti hanya timbul dalam hubungan dengan bahasa.  Dan tidak sedikit aliran mengambil bahasa sebagai pokok pembicaraan yang hampir eksklusif, seperti misalnya hermeneutika, strukturalisme, semiotika, dan filsafat analitis.[1]

Teori tentang asal-usul bahasa telah lama menjadi obyek kajian para ahli, sejak dari kalangan psikolog, antropolog, filsuf maupun teolog, sehingga lahirlah sub-sub ilmu dan filsafat bahasa, di antaranya yaitu hermeneutika. Sifat ilmu pengetahuan adalah selalu berkembang dan berkaitan antara satu disiplin ilmu dengan disiplin ilmu yang lain. Hermeneutika sering dikelompokkan dalam wilayah filsafat bahasa, meskipun ia bisa juga mengklaim sebagai disiplin ilmu tersendiri.
Para filosof hermeneutika adalah mereka yang sejatinya tidak membatasi petunjuk pada ambang batas tertentu dari segala fenomena wujud. Mereka selalu melihat segala sesuatu yang ada di alam ini sebagai petunjuk atas yang lain. Jika kita mampu membedakan dua kondisi ini satu dan yang lainnya, maka kita dapat membedakan dua macam fenomena: ilmu dan pemahaman. Masalah ilmu dikaji dalam lapangan epistemologi, sedangkan masalah pemahaman dikaji dalam lapangan hermeneutika. Sehingga dengan demikian, baik epistemologi dan hermeneutika adalah ilmu yang berdampingan.

B.     Rumusan Masalah
    1. Bagaimana  pengertian hermeneutika?
    2. Bagaimana latar belakang munculnya filsafat hermeneutika?


BAB II
PEMBAHASAN

  1. Defenisi Hermeneutika
Hermeneutika (Indonesia), hermeneutics (Inggris), dan hermeneutikos (Greek) secara bahasa punya makna menafsirkan. Hermeneutika berasal dari bahasa Yunani hermeneutikos berkaitan dengan upaya “menjelaskan dan menelusuri” pesan dan pengertian dasar dari sebuah ucapan atau tulisan yang tidak jelas, kabur, dan kontradiksi, sehingga menimbulkan keraguan dan kebingungan bagi pendengar atau pembaca. Akar kata hermeneutika berasal dari istilah Yunani dari kata kerja hermēneuein (menafsirkan) atau kata benda hermēneia (interpretasi). Al-Farabi mengartikannya dengan lafal Arab al-‘ibāroh (ungkapan).[2] Kata Yunani hermeios mengacu kepada seorang pendeta bijak Delphic. Kata hermeios dan kata kerja hermēneuien dan kata benda hermēneia biasanya dihubung-hubungkan dengan Dewa Hermes, dari situlah kata itu berasal. Hermes diasosiasikan dengan fungsi transmisi apa yang ada di balik pemahaman manusia ke dalam bentuk apa yang dapat ditangkap oleh intelegensia manusia.  Kurang lebih sama dengan Hermes, seperti itu pulalah karakter dari metode hermeneutika. Dengan menelusuri akar kata paling awal dalam Yunani, orisinalitas kata modern dari “hermeneutika” dan “hermeneutis” mengasumsikan proses “membawa sesuatu untuk dipahami”, terutama seperti proses ini melibatkan bahasa, karena bahasa merupakan mediasi paling sempurna dalam proses. Mediasi dan proses membawa pesan “agar dipahami” yang diasosiasikan dengan Hermes ini terkandung di dalam tiga bentuk makna dasar dari hermēneuien dan hermēneia dalam penggunaan aslinya.
Tiga bentuk ini menggunakan bentuk kata kerja dari hermēneuein, yaitu:
1.      Mengungkapkan kata-kata, misalnya “to say”;
2.      Menjelaskan; ’to explain’
3.      Menerjemahkan. ’to translate atau to interpret’
Ketiga makna itu bisa diwakilkan dalam bentuk kata kerja bahasa Inggris, “to interpret.” Tetapi masing-masing ketiga makna itu membentuk sebuah makna independen dan signifikan bagi interpretasi.
Hermeneutika berarti suatu ilmu yang mencoba menggambarkan bagaimana sebuah kata atau suatu kejadian pada waktu dan budaya yang lalu dapat dimengerti dan menjadi bermakna secara eksistensial dalam situasi sekarang. Dengan kata lain, hermeneutika merupakan teori pengoperasian pemahaman dalam hubungannya dengan interpretasi terhadap sebuah Teks.[3]
Persoalan utama hermeneutika terletak pada pencarian makna teks, apakah makna obyektif atau makna subyektif. Perbedaan penekanan pencarian makna pada ketiga unsur hermeneutika: penggagas, teks dan pembaca, menjadi titik beda masing-masing hermeneutika. Titik beda itu dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori hermeneutika: hermeneutika teoritis, hermeneutika filosofis, dan hermeneutika kritis.
Pertama, hermeneutika teoritis. Bentuk hermeneutika seperti ini menitikberatkan kajiannya pada problem “pemahaman”, yakni bagaimana memahami dengan benar. Sedang makna yang menjadi tujuan pencarian dalam hermeneutika ini adalah makna yang dikehendaki penggagas teks.
Kedua, hermeneutika filosofis. Problem utama hermeneutika ini bukanlah bagaimana memahami teks dengan benar dan obyektif sebagaimana hermeneutika teoritis. Problem utamannya adalah bagaimana “tindakan memahami” itu sendiri.
Ketiga, hermeneutika kritis. Hermeneutika ini bertujuan untuk mengungkap kepentingan di balik teks. hermeneutika kritis menempatkan sesuatu yang berada di luar teks sebagai problem hermeneutiknya.[4]

  1. Latar Belakang Munculnya Filsafat Hermeneutika
Werner G. Jeanrond menyebutkan tiga milieu penting yang berpengaruh terhadap timbulnya hermeneutika sebagai suatu ilmu atau teori interpretasi:
Pertama milieu masyarakat yang terpengaruh oleh pemikiran Yunani.
Kedua milieu masyarakat Yahudi dan Kristen yang menghadapi masalah teks kitab “suci” agama mereka dan berupaya mencari model yang cocok untuk intepretasi untuk itu.
Ketiga milieu masyarakat Eropa di zaman Pencerahan (Enlightenment) berusaha lepas dari tradisi dan otoritas keagamaan dan membawa hermeneutika keluar konteks keagamaan.
Dari mitologi Yunani ke teologi Kristen
Konsep hermeneutika yang digunakan dari nama Hermes ini resminya digunakan untuk kebutuhan kultural bagi menentukan makna, peran dan fungsi teks-teks kesusasteraan yang berasal dari masyarakat Yunani kuno, khususnya epik-epik karya Homer.[5]
Meskipun interpretasi hermeneutis telah dipraktekkan dalam tradisi Yunani, namun istilah hermeneutike baru pertama kali ditemui dalam karya Plato (429-347 SM) Politikos, Epinomis, Definitione dan Timeus. Dalam Definitione Plato dengan jelas menyatakan hermeneutika artinya “menunjukkan sesuatu” yang tidak terbatas pada pernyataan, tapi meliputi bahasa secara umum, penterjemahan, interpretasi, dan juga gaya bahasa dan retorika. Sedangkan dalam Timaeus Plato menghubungkan hermeneutika dengan pemegang otoritas kebenaran, yaitu bahwa kebenaran hanya dapat dipahami oleh “nabi”. Nabi disini maksudnya adalah mediator antara para dewa dengan manusia.
Dalam menghadapi problema terjadinya krisis otoritas di kalangan penyair dalam memahami mitologi atau sesuatu yang bersifat divine, misalnya masyarakat Yunani menyelesaikan dengan konsep rational logos.[6]
Stoicisme (300 SM) kemudian mengembangkan hermeneutika sebagai ilmu intepretasi alegoris, yaitu metode memahami teks dengan cara mencari makna yang lebih dalam dari sekedar pengertian literal. Sejalan dengan itu maka untuk intepretasi alegoris terhadap mitologi, Stoic menerapkan doktrin inner logos dan outer logos (inner word and outer word). Metode alegoris kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Philo of Alexandria (20 SM-50 M), seorang Yahudi yang kemudian dianggap sebagai Bapak metode alegoris. Metode yang juga disebut typology itu intinya mengajarkan bahwa pemahaman makna spiritual suatu teks tidak berasal dari teks atau dari informasi teks, tapi melalui pemahaman simbolik yang merujuk sesuatu di luar teks. Metode hermeneutika alegoris ini kemudian ditransmisikan ke dalam pemikiran teologi Kristen. Tokohnya, Origen (sekitar 185-254 M) telah berhasil menulis penjelasan Kitab Perjanjian Lama dengan metode ini.[7]
Namun, metode alegoris yang berpusat di Alexandria ini ditentang oleh kelompok yang membela metode literal (grammatical) yang berpusat di Antioch. Pertentangan antara kelompok Alexandria dan Antioch mereprentasikan pertentangan metode interpretasi simbolik dan literal. Yang pertama berada dibawah pengaruh hermeneutika Plato sedangkan yang kedua berada dibawah bayang-bayang hermeneutika Aristotle.
Dari pertentangan antara dua konsep hermeneutika Alexandria dan Antioch ini seorang teolog dan filosof Kristen St.Augustine of Hippo (354-430 M) mengambil jalan tengah. Ia lalu memberi makna baru kepada hermeneutika dengan memperkenalkan teori semiotik (teori tentang simbol). Teori ini dimaksudkan untuk dapat mengontrol terjadinya distorsi bacaan alegoris teks Bible yang cenderung arbitrer, dan juga dari literalisme yang terlalu simplistik.
Perkembangan pemikiran hermeneutika dalam teologi Kristen terjadi pada abad pertengahan yang dibawa oleh Thomas Aquinas (1225-1274). Kemunculannya yang didahului oleh transmisi karya-karya Aristotle ke dalam milieu pemikiran Islam mengindikasikan kuatnya pengaruh pemikiran Aristotle dan Aristotelian Muslim khususnya al-Farabi (870-950),  Ibn Sina (980-1037) dan Ibn Rushd (1126-1198). Dalam karyanya Summa Theologia ia menunjukkan kecenderungan filsafat naturalistic Aristotle yang juga bertentangan dengan kecenderungan Neo-Platonis St.Augustine. Ia mengatakan bahwa “pengarang kitab suci adalah Tuhan” dan sesuatu yang perlu dilakukan oleh para teolog adalah pemahaman literal. Pemahaman literal lebih banyak merujuk kepada hermeneutika Aristotle dalam Peri Hermenias nya. Tujuannya adalah untuk menyusun teologi Kristen agar memenuhi standar formulasi ilmiah dan sekaligus merupakan penolakannya terhadap interpretasi alegoris.[8]
Di awal abad pertengahan, hermeneutika masih berada dalam sangkar teologi Kristen tapi masih berada dibawah pengaruh pemikiran filsafat dan mitologi Yunani. Ketika teks Bible sendiri mulai digugat dan dan otoritas gereja mulai goyah pengaruh pandangan hidup ilmiah dan rasional Barat (scientific and rational worldview) mulai muncul membawa hermeneutika kepada makna baru yaitu filosofis.
Dari teologi dogmatis kepada spirit rasionalisme
Bagaimanapun resistensi para teolog Kristen terhadap perkembangan sains yang dipengaruhi oleh pandangan hidup ilmiah Barat, hermeneutika terus menjadi diskursus yang menarik kalangan teolog Kristen masa itu. Dunia teks akhirnya dianggap sebagai representasi dari dunia mitos dan masyarakat modern dianggap mewakili dunia ilmiah. Hermeneutika kini membahas bagaimana kejadian dan kata-kata masa lampau menjadi berarti dan relevan bagi eksistensi manusia tanpa menghilangkan esensi pesannya.
Tanda-tanda beralihnya diskursus hermeneutika dari teologi yang dogmatis kepada semangat rasionalisme sudah mulai nampak sejak terjadinya gerakan Reformasi Protestan pada abad ke-16. Mulai abad ini hermeneutika mengalami perkembangan dan memeperoleh perhatian yang lebih akademis dan serius ketika kalangan ilmuwan gereja di Eropa terlibat diskusi dan debat mengenai otentisitas Bibel dan mereka ingin memperoleh kejelasan serta pemahaman yang benar mengenai kandungan Bibel yang dalam berbagai hal dianggap bertentangan.[9]
Tanda ini bertambah jelas pada periode Pencerahan (Enlightenment) pada abad berikutnya. Memasuki abad ke 18, hermeneutika mulai dirasakan sabagai teman sekaligus tantangan bagi ilmu sosial, utamanya sejarah dan sosiologi, karena hermeneutika mulai berbicara dan menggugat metode dan konsep ilmu sosial. Pada pertengahan abad ini di Eropa bangkit sebuah apresiasi tentang karya-karya seni klasik, hermeneutika sebagai metode penafsiran menjadi sangat penting peranannya. Karena sebuah karya seni merupakan contoh perwujudan paling riil dari sebuah jalinan yang unik antara sang pencipta, proses pensiptaan dan karya cipta.[10]
Pada tingkat ini pergeseran diskursus hermeneutika dari teologi ke filsafat masih berkutat pada perubahan fungsi hermeneutika dari teori interpretasi teks Bibel secara rasional menjadi pemahaman segala teks selain Bibel. Disini hermeneutika berkembang dalam milieu yang didominasi oleh para teolog yang telah bersentuhan dengan pemikiran filsafat Barat.
Dari teologi protestan kepada filsafat
Abad ke 18 dianggap sebagai awal periode berlakunya proyek modernitas, yaitu pemikiran rasional yang menjanjikan pembebasan (liberasi) dari irrasionalitas mitologi, agama dan khurafat. Ketika gerakan desakralisasi atau dalam bahasa Weber ‘disenchantment’ terjadi di Barat, ilmu diletakkan dalam posisi berlawanan dengan agama yang dianggap penyebab kemunduran.
Pada abad ke-17 dan 18 pendekatan kritis terhadap Bibel (Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru) yang merupakan bagian dari hermeneutika teologis telah berkembang. Studi kritis perjanjian lama telah menekankan kepada struktur atau bahasa teks sebagai cara untuk memahami isi. Studi in juga menyandarkan pada bukti internal teks sebagai dasar diskusi mengenai integritas dan pengarang teks, kemudian mencari situasi sosiologis dan historis sebagai konteks untuk memahami asal-mula dan penggunaan materi. Studi kritis Perjanjian Baru melahirkan banyak teks-teks tandingan terhadap textus receptus edisi Erasmus. Studi tersebut menyatakan bahwa Kalam Tuhan (Word of God) dan Kitab Suci (Holy Scripture) tidak identik, bagian-bagian dari Bibel bukanlah inspirasi dan tidak dapat diterima secara otoritatif.  Di dalam milieu pemikiran inilah makna hermeneutika berubah menjadi metodologi filsafat.


BAB III
KESIMPULAN

1.      Hermeneutika berasal dari bahasa Yunani Hermeneutikos berkaitan dengan upaya ’menjelaskan dan menelusuri’ pesan dan pengertian dasar dari sebuah ucapan atau tulisan yang tidak jelas, kabur, dan kontradiksi, sehingga menimbulkan keraguan dan kebingungan bagi pendengar atau pembaca.  
2.      Mediasi dan proses membawa pesan “agar dipahami” yang diasosikan dengan Hermes terkandung di dalam tiga bentuk makna dasar. Tiga bentuk ini menggunakan bentuk kata kerja dari hermēneuein, yaitu: to say, to explain, dan to translate atau to interpret.
3.      Enam definisi tentang hermeneuitika modern yang juga menandai sejarah perkembangan hermeneutika itu sendiri.
1.          Hermeneutika sebagai teori eksegesis Bibel.
2.          Hermeneutika sebagai metode filologis.
3.          Hermeneutika sebagai ilmu pemahaman linguistik.
4.          Hermeneutika sebagai fundasi metodologi geisteswissenschaften.
5.          Hermeneutika sebagai fenomenologi Dasein dan pemahaman eksistensial.
6.          Hermeneutika sebagai sistem interpretasi menemukan makna versus ikonaklasme.



HERMENEUTIKA


MAKALAH INI DISAMPAIKAN DALAM SEMINAR MATA KULIAH
FILSAFAT ILMU




 











Di susun oleh :
IMAM BASUNI
NPM : 1202001




Dosen Pengampu
Dr. Mat Jalil, M.Hum




PROGRAM PASCA SARJANA 
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
STAIN JURAI SIWO METRO
TAHUN 2012


KATA PENGANTAR



Segala puji milik Allah SWT yang telah melimpahkan hidayah-Nya kepada orang-orang yang beriman dan beramal sholeh.

Sholawat dan salam semoga tetap terlimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW, yang telah menunjukkan kepada kita jalan yang paling baik diantara jalan yang ada didunia ini untuk menuju kepada ridhotillah Tuhan semesta alam.

Dengan ma’unah (pertolongan) Nya,penulis dapat menyelesaikan makalah ini.

Penulis berharap agar pembaca dapat memberikan kritik dan saran serta masukan yang membangun guna perbaikan dikemudian hari.

Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca pada umumnya, dan penulis pada khususnya.


                                                                                    Metro, 17 Oktober  2012
                                                                                   

Penulis


DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL......................................................................................... i
KATA PENGANTAR....................................................................................... ii
DAFTAR ISI.....................................................................................................   iii

BAB I  PENDAHULUAN................................................................................. 1
  1. Latar Belakang ......................................................................................  1
  2. Rumusan Masalah..................................................................................   2

BAB II PEMBAHASAN...................................................................................   3
A. Definisi Hermeneutika..............................................................................   3
B.  Latar belakang munculnya filsafat Hermeneutika.......................................    5
....... -. Dari mitologi yunani ke teologi kristen ...............................................    5
....... -. Dari teologi dogmatis kepada spirit rasionalisme.................................    8
....... - Dari teologi protestan kepada filsafat..................................................    9

BAB III KESIMPULAN...................................................................................    10
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................    11


DAFTAR PUSTAKA

K. Bertens, Panorama Filsafat Modern (Cet. I; Jakarta: Penerbit Teraju, 2005)
Hidayat, Komaruddin. Memahami Bahasa Agama; Sebuah Kajian Hermeneutik. Cet. I; Jakarta: Paramadina, 1996
Http://peperonity.com/go/sites/mview/assunnah.karya.indo1/15293598/Hermeneutika,
Http://id.wikipedia.org/wiki/Hermeneutika ,
Http://id.wikipedia.org/wiki/Hermeneutika, loc. cit.
http://wordpress.com/2009/09/22/filsafat-hermeneutika





[1] K. Bertens, Panorama Filsafat Modern (Cet. I; Jakarta: Penerbit Teraju, 2005), h. 167-168.
[2] Http://peperonity.com/go/sites/mview/assunnah.karya.indo1/15293598/Hermeneutika, 10-09-2012, 14.30
[3] Http://id.wikipedia.org/wiki/Hermeneutika ,10-09-2012,14.15
[4] Http://id.wikipedia.org/wiki/Hermeneutika, loc. cit.
[5] Ibid
[6] Logos asal dari bahasa Yunani berarti “kata”. Para filosof Yunani memakai kata tersebut untuk menunjukkan prinsip rasional yang mengatur dan mengembangkan alam semesta. Hamid Fahmy Zarkasyi, op. cit., h. 2.

[7] Ibid
[8] Ibid
[9] Komaruddin Hidayat, op. cit., 127
[10] Ibid